Jumat, 14 Maret 2014
Hubungan kerajaan sumbawa dengan kerajaan Gowa
HUBUNGAN KERAJAAN SUMBAWA DENGAN KERRAJAAN GOWA
BAB II
PENDAHULUAN
A. Asal Usul Kesultanan Sumbawa
Masa Kesultanan Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham Animisme. Masuknya Islam ke Sumbawa telah mempercepat dan mengkatalis terbentuknya kesultanan Sumbawa yang dikenal dengan nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Sultan yang pertama memimpin Sumbawa adalah Dewa Mas Pamayam (Mas Cini) 1648-1666. Ada tiga “gelar induk” atau Puin Kajuluk yang digunakan sebagai nama gelar kesultanan Sumbawa[1]:
1. Sultan Harun Arrasyid
2. Sultan Jalaluddin, dan
3. Sultan Kaharuddin.
Perjalanan masa kesultanan Sumbawa telah melahirkan pemimpin yang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan keberanian yang ikhlas, sehingga lambang Kesultanan Sumbawa digambarkan dengan macan putih atau sering disebut “Bendera Macan”. Bendera macan putih merupakan lambang keberanian yang ikhlas dan suci, semangat ini telah terwarisi kepada seluruh masyarakat Sumbawa, sehingga menjadi masyarakat yang modern, religius dan demokratis.
Panji atau Bendera LIPAN atau LIPAN API merupakan Bendera Perang Kesultanan Sumbawa. Bendera ini Selalu dibawa manakala pasukan Bala Cucuk menunaikan tugas pengamanan wilayah kesultanan dari ancaman musuh. Dewasa ini Bendera asli disimpan oleh pak Makadia keturunan dari Panglima Mayo sebagai hadiah dari Sultan Sumbawa karena berhasil sebagai penakluk perompak dan bajak laut yang mengganggu perairan Sumbawa.
Penobatan Sultan Sumbawa merupakan penobatan pertama yang dilakukan sejak kesultanan Sumbawa menjadi bagian NKRI. Penobatan ini menjadi sangat penting dan bermakna bagi seluruh rakyat atau Tau Tana Samawa yang memegang teguh nilai-nilai budaya Sumbawa. Penobatan Sultan Sumbawa tidak dihajatkan sebagai Negara Berdaulat, tetapi akan menjadi pengawal/penjaga pusaka Sumbawa yaitu budaya, adat rapang tau dan tana samawa yang religius (Adat Barenti Ko Syara, Syara’ Barenti Ko Kitabullah) yang bermakna bahwa adat istiadat dan budaya Sumbawa senantiasa berpedoman kepada agama untuk kerik salamat tau ke tana samawa(keselamatan masyarakat dan alam Sumbawa). Wilayah kesultanan adat Sumbawa adalah kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat (Kamutar Telu).
Sumbawa dalam sejarah masa lalu merupakan wilayah yang dipimpin oleh Sultan. Pengaruh kerajaan ini hingga ke Goa, Sulawesi Selatan melalui penaklukkan kerajaan Goa dalam sayembara menendang bola besi dengan peserta seluruh Kerajaan di Nusantara pada saat itu.
Sejarah Sumbawa mencatat bahwa dominasi Sultan Sumbawa yang keturunan Bugis-Makasar digantikan oleh sultan dari keturunan raja Banjar. Permulaan keturunan raja Banjar menjadi sultan Sumbawa yaitu, Gusti Mesir Abdurrahman yang bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (1762-1765). Beliau diangkat menjadi sultan kedelapan Sumbawa karena beliau telah memperistrikan cucunda dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723), Datu Bonto Raja.[2]
Kerajaan Sumbawa juga memayungi Selaparang (Pulau Lombok, sekarang), merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sumbawa yang disebut dalam istilah "Kemutar empat". Bukti sejarah, sebagian penduduk di Lombok Timur, Mataram merupakan keturunan dari Sumbawa yang ikut dalam pembebasan Selaparang pada masa itu. Sejarah masa lalu tersebut telah berlalu. Seiring dengan berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Kesultanan Sumbawa masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan pada akhirnya Sumbawa juga menjadi bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat yang beribukota di Mataram.[3]
Setelah Indonesia merdeka, Sumbawa masa kini meninggalkan bekas ketangguhan, kemurahan, solidaritas bahkan toleransi. Keterbukaan adalah jati diri masyarakat Sumbawa yang tidak mengenal istilah nepotisme bahkan dalam kompetisi keseharian, masyarakat terbiasa dengan kompetisi sehat. Karakter tersebut menempatkan integritas kepribadian yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sejarah mencatat, berbagai daerah tertarik mendiami Kesultanan Sumbawa, seperti dari kerajaan Sriwijaya Palembang, kini disebut Pelampang (berasal dari kata Palembang). Banjar berasal dari Kalimantan, Selayar dari Sulawesi, Mantar dari bangsa Portugal, Jawa dari Jawa. Semua warna tersebut bercampur menjadi satu kesatuan bagaikan pelangi yang senantiasa membawa kebahagiaan dan kedamaian di Tana Samawa (Tanah Sumbawa).
Sumbawa yang sangat terbuka dan penuh toleransi merupakan daerah yang nilai-nilainya dibangun atas dasar nilai moral. Semua orang yang hidup di Tana Samawa merupakan orang yang sanggup menjunjung tinggi moral diatas segala kepentingan. Tak pelak ketika pelanggaran moral terjadi, dimana negara tidak lagi hadir maka hukum setempat akan mengeksekusi.
Tindakan demikian merupakan bentuk dari tuntutan keseimbangan; peran, pelayanan, persamaan derajat dan kesempatan dalam memelihara keseimbangan Sumbawa secara menyeluruh. Kesempatan merupakan landasan menuju penyatuan dan partisipasi aktif dalam memelihara Tana Samawa. Perilaku kompetitif, tidak menempatkan masyarakat Sumbawa menduduki peluang dalam perekrutan setiap kebutuhan negara.
B. Sultan Muh. Jallaluddin III
Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu.
Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya kesebuah hutan, kira-kira di wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar.
Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958.[4]
Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang menikah dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun.
Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (1761-1762).
Wilayah Kesultanan/kerajaan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.
C. Pengislaman Kesultanan Sumbawa
Sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa dimulai dari masuknya Kerajaan Gowa ke Sumbawa yang datang melalui penaklukkan sekitar tahun 1618 s/d 1623. Sejarah ini memiliki kisah tersendiri yang menarik untuk di telusuri, karena masuknya Gowa semakin memberikan ruang bagi berkembangnya Islam secara lebih merata ke seluruh pelosok negeri.
Sebelum terjadinya penaklukkan, antara Sumbawa dengan Gowa telah terjalin hubungan yang erat melalui komunikasi yang terjadi antara peduduk di kedua wilayah. Sumbawa dimanfaatkan oleh para pedagang Gowa sebagai salah satu jalur penting perdagangan, begitu pula sebaliknya. Jarak yang dekat antara Sulawesi dengan Sumbawa membuat perahu-perahu phinisi Gowa hampir setiap hari hilir mudik dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Daya tarik terbesar Sumbawa saat itu adalah kayu sepang dan kuda. Sedangkan di kalangan para bangsawan Gowa, Sumbawa telah lama di kenal sebagai daerah yang kaya dengan binatang buruan, sehingga pada waktu-waktu tertentu banyak diantara mereka yang datang untuk berburu kijang atau rusa.
Melalui mereka inilah informasi tentang kondisi Sumbawa diketahui oleh Raja Gowa XIV yang saat itu sedang gencar-gencarnya memperkenalkan Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangganya. Proses pengislaman ini ada yang dilakukan melalui loby-loby politik namun kebanyakan dilakukan melalui peperangan.
Setelah berhasil menaklukkan sebagian besar kerajaan yang ada di Sulawesi, Gowa pun kemudian melirik Pulau Sumbawa dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sehingga pada tahun 1616, berangkat pasukan besar dari Gowa yang di pimpin oleh Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yaitu Lo’mo Mandalle.
Pasukan ini pertama kali mendarat di Bima dan berhasil menaklukkan sekaligus mengislamkan wilayah Bima, Sanggar, Tambora dan Dompu. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1618, di bawah pimpinan Keraeng Moroanging yang menggantikan posisi Lo’mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang, pasukan ini bergerak menuju Taliwang. Daerah inipun berhasil dikuasai termasuk kerajaan-kerajaan sekitarnya yaitu Seran, Jereweh dan Utan Kadali. Selang beberapa bulan kemudian satu demi satu kerajaan-kerajaan lainnya berhasil ditaklukkan termasuk Kerajaan Ngali, dan pada puncaknya adalah penaklukkan Kerajaan Samawa Puin.
Pengislaman yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa meskipun hanya dikhususkan pada kerabat kerajaan, adalah tonggak awal dari semakin meluasnya penyebaran Islam di Sumbawa. Dalam sejarah penyebaran Islam, ketika puncak kekuasaan sudah dikuasai, maka tinggal menunggu waktu untuk daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Kisah lengkap tentang sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa oleh Kerajaan Gowa terdapat dalam Buku Sumbawa Pada Masa Dulu karangan Lalu Manca yang dikutip dari Piagam perjanjian damai antara Kerajaan Sumbawa yang diwakili oleh Raja Dewa Maja Paruwa dengan Kerajaan Gowa, yaitu:
”Haadza Kalaamulqaati’ yang termaktub dalam buk perjanjian Tanah Gowa dengan Tanah Sumbawa pada Perang Sariyu dengan Suruh Kari Takwa. Telah berkata Kari Takwa, ”Adat kamu dan rapang kamu tiada dibinasakan dan tiada kami rusakkan. Adapun aku meneguh juga kepadamu, tetapi jangan kamu lupakan mengucap Asyhaduanlaailaahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadurrasulullah, dan iman kamu jangan tiada meneguh Agama Islam.
Demikian pesan Raja Gowa Tuminang Riagamana dengan Raja Gowa pada Raja Sumbawa dan Tanah Sumbawa tiada kami binasakan adatmu dan rapangmu”. Pada masa itu, ada ketika Menteri Tetelu dan Ranga Kiku’ memegang negeri Sumbawa, dan Nene Kalibelah dan Nene Jurupalasan. Memanca Lima dan Lelurah Pitu dan segala orang-orang besar-besar adalah hadir menghadap Raja Sumbawa. Demikianlah adanya. Hijratunnabi SAW 1032 H (1623 M)”.
Setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan, utusanpun kemudian dikirim oleh Dewa Maja Paruwa ke seluruh daerah yang telah dikuasai untuk melakukan proses pengislaman secara menyeluruh. Kepergian para utusan tersebut ada yang disertai dengan mubalig namun ada pula yang hanya sebatas memberikan pengumuman kepada masyarakat tentang munculnya Agama Islam dan kewajiban bagi masyarakat untuk memeluknya. Kepergian mereka juga disertai dengan undangan terbuka kepada pimpinan masing-masing daerah baik raja, datu maupun kepala suku untuk menghadiri rapat akbar di Istana Kerajaan
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Islampun mulai tersebar luas di kalangan masyarakat dan terutama di kalangan bangsawan kerajaan. Raja-raja Hindu yang kemudian memeluk agama Islam adalah Raja Kerajaan Taliwang (Dewa Langit Ling Kertasari), Raja Kerajaan Utan Kadali (Dewa Langit Ling Baremang dan Dewa Langit Ling Utan), Raja Kerajaan Seran, Raja Kerajaan Tangko Empang, dan seterusnya.
Dalam proses pengislaman yang dilakukan oleh pihak kerajaan, terdapat kisah yang menarik untuk diikuti. Sebagian besar utusan yang dikirim telah mengetahui kalau seandainya Islam bukanlah agama yang asing bagi daerah-daerah yang akan mereka kunjungi. Agama ini telah menarik minat dan simpati masyarakat terutama rakyat kecil yang merasa derajatnya terangkat. Dalam ”buk” desa Tepal dijelaskan bahwa utusan kerajaan yang dikirim ke desa itu bernama Syekh Salahuddin. Ketika pertama kali menginjakkan kakinya ke desa ini, ulama ini merasa heran dan takjub dengan kehidupan masyarakat pada saat itu yang rata-rata telah mengenal Islam, sehingga beliaupun kemudian mengambil keputusan untuk tinggal di tempat itu bahkan sampai akhir hayatnya.
Setelah era Dewa Maja Paruwa, Sumbawa masuk pada era baru yaitu berkuasanya trah Makasar dan Banjar dengan raja pertamanya yaitu Dewa Mas Pamayam41 (1648-1668). Raja ini diangkat oleh Gowa sebagai Gubernur Muda dan berkedudukan di bagian barat Sumbawa, yaitu Kerajaan Utan Kadali.
Pada masa pemerintahan Dewa Mas Gowa ini, Islam masih dalam tahap transisi awal yang merupakan masa yang sangat rentan bagi penyebaran Agama Islam, bahkan pada masa ini Dewa Mas Gowa diturunkan secara paksa oleh para pembesarnya karena masih mempertahankan style Hindu.
Proses pengislaman ini berlangsung selama 27 tahun, hal ini diketahui dengan munculnya pernyataan Sultan Hasanuddin pada tahun 1750, bahwa antara Makasar dan Sumbawa telah dipersatukan dan seluruh masyarakat Sumbawa telah beragama Islam.
Dinasti Dewa Dalam Bawa merupakan dinasti yang didirikan oleh keturunan langsung Sayyid Syamsuddin al-Aydrus yaitu Dewa Mas Bantan atau yang lebih di kenal dengan Sultan Harunnurasyid I (1675 s/d 1702). Dinasti ini merupakan dinasti pertama sekaligus terakhir yang pernah berkuasa pada masa kesultanan Sumbawa.
Sebagai Raja Sumbawa, Dewa Mas Bantan memiliki tugas berat dalam membangun pondasi Islam yang kuat di Sumbawa. Dalam masa pemerintahannya selama 27 tahun, Dewa Mas Bantan membangun Islam pada masa Islam baru mulai belajar merangkak. Sultan ini tidak mewarisi satupun hal yang positif dalam hal pengembangan Islam dari raja sebelumnya yaitu Dewa Mas Gowa. Namun secara perlahan tapi pasti, Dewa Mas Bantan Baru pada masa Dewa Mas Madina (1702-1723), wajah Islam mulai berubah secara drastis. Sultan ini melakukan perubahan secara besar-besaran yang ditandai dengan dibentuknya Majelis Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari para ulama, sekaligus diterapkannya hukum adat dan hukum kitab berdasarkan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah.
D. Nama-nama Raja Sumbawa
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah memerintah di Sumbawa dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M.
1. Sultan Hasanurrasyid I 1674-1702 M
2. Sultan Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 M
3. Datu Bala Sawo 1723-1725 M
4. Datu Gunung Setia 1725-1732 M
5. Sultan Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6. Sultan Siti Aisyah 1759-1760 M
7. Datu Ungkap Sermin 1761-1762 M
8. Sultan Muhammad Jalaludddin II 1762-1765 M
9. Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1776 M
10. Sultan Harunurrasyid II 1776-1790 M
11. Sultan Shafiyatuddin 1791-1795 M
12. Sultan Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13. Nene Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14. Mele Abdullah 1825-1836 M
15. Sultan Amrullah II 1836-1882 M
16. Sultan Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17. Sultan Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
E. Sistem Kepercayaan
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, danmenhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.
Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
F. Peninggalan Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Berdiri kokoh di tengah Kota Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, Istana Dalam loka merupakan saksi sejarah yang memperlihatkan kejayaan Kesultanan Sumbawa pada zamannya. Dibangun pada tahun 1885, pembangunan bangunan yang berarti istana tua ini diprakarsai Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III yang menjadi Sultan ke-16 dari Dinasti Dewa Dalam Bawa.
Berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 904 M2, Istana Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan bahan kayu ini memiliki filosofi “adat berenti ko syara, syara barenti ko kitabullah”, yang berarti semua aturan adat istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus bersemangatkan pada syariat Islam.
Lambang keislaman juga dapat dilihat pada kayu penyangga yang berjumlah 99 yang bila diartikan mempunyai kesamaan dengan sifat ALLAH SWT (Asma'ul Husna).
Bangunan utama bala rea yang dibangun dengan kayu jati merupakan pengganti kediaman raja yang dulu pernah terbakar saat terjadi letusan bubuk mesiu kerajaan. Dibangun dengan sistem baji, bangunan ini memiliki tingkat kelenturan yang tinggi apabila terjadi gempa bumi.
Pemilihan selatan sebagai arah hadap rumah pun memiliki makna tersendiri. Berdasar hukum arah mata angin, selatan dipercaya dapat memberikan suasana sejuk, tenteram, damai, dan nyaman. Tidak hanya itu, selatan pun bermakna menatap pada masa lalu yang bila diartikan pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam menyikapi masa lalu yang bisa dibawa ke masa kini.
Awalnya, Istana Dalam Loka berfungsi sebagai kediaman raja. Fungsi itu berubah sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932. Kini, Dalam Loka berfungsi menjadi cagar budaya yang mengingatkan jika dahulu pernah berdiri Kesultanan Sumbawa yang pernah berjaya pada zamannya.[5]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Masa Kesultanan Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham Animisme. Agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang.
Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
B. SARAN
Dengan ditulisnya makalah ini, selain menambah wawasan pembaca diharapkan pemerintah dapat menerapkan kurikulum yang terbaik, sehingga akan memajukan pendidikan di Indonesia. Semoga penulis lain juga akan mengangkat tema perjalanan kurikulum di Indonesia dengan lebih baik dan lebih lengkap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar