Taris Kaizar
Jumat, 14 Maret 2014
Hubungan kerajaan sumbawa dengan kerajaan Gowa
HUBUNGAN KERAJAAN SUMBAWA DENGAN KERRAJAAN GOWA
BAB II
PENDAHULUAN
A. Asal Usul Kesultanan Sumbawa
Masa Kesultanan Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham Animisme. Masuknya Islam ke Sumbawa telah mempercepat dan mengkatalis terbentuknya kesultanan Sumbawa yang dikenal dengan nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Sultan yang pertama memimpin Sumbawa adalah Dewa Mas Pamayam (Mas Cini) 1648-1666. Ada tiga “gelar induk” atau Puin Kajuluk yang digunakan sebagai nama gelar kesultanan Sumbawa[1]:
1. Sultan Harun Arrasyid
2. Sultan Jalaluddin, dan
3. Sultan Kaharuddin.
Perjalanan masa kesultanan Sumbawa telah melahirkan pemimpin yang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan keberanian yang ikhlas, sehingga lambang Kesultanan Sumbawa digambarkan dengan macan putih atau sering disebut “Bendera Macan”. Bendera macan putih merupakan lambang keberanian yang ikhlas dan suci, semangat ini telah terwarisi kepada seluruh masyarakat Sumbawa, sehingga menjadi masyarakat yang modern, religius dan demokratis.
Panji atau Bendera LIPAN atau LIPAN API merupakan Bendera Perang Kesultanan Sumbawa. Bendera ini Selalu dibawa manakala pasukan Bala Cucuk menunaikan tugas pengamanan wilayah kesultanan dari ancaman musuh. Dewasa ini Bendera asli disimpan oleh pak Makadia keturunan dari Panglima Mayo sebagai hadiah dari Sultan Sumbawa karena berhasil sebagai penakluk perompak dan bajak laut yang mengganggu perairan Sumbawa.
Penobatan Sultan Sumbawa merupakan penobatan pertama yang dilakukan sejak kesultanan Sumbawa menjadi bagian NKRI. Penobatan ini menjadi sangat penting dan bermakna bagi seluruh rakyat atau Tau Tana Samawa yang memegang teguh nilai-nilai budaya Sumbawa. Penobatan Sultan Sumbawa tidak dihajatkan sebagai Negara Berdaulat, tetapi akan menjadi pengawal/penjaga pusaka Sumbawa yaitu budaya, adat rapang tau dan tana samawa yang religius (Adat Barenti Ko Syara, Syara’ Barenti Ko Kitabullah) yang bermakna bahwa adat istiadat dan budaya Sumbawa senantiasa berpedoman kepada agama untuk kerik salamat tau ke tana samawa(keselamatan masyarakat dan alam Sumbawa). Wilayah kesultanan adat Sumbawa adalah kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat (Kamutar Telu).
Sumbawa dalam sejarah masa lalu merupakan wilayah yang dipimpin oleh Sultan. Pengaruh kerajaan ini hingga ke Goa, Sulawesi Selatan melalui penaklukkan kerajaan Goa dalam sayembara menendang bola besi dengan peserta seluruh Kerajaan di Nusantara pada saat itu.
Sejarah Sumbawa mencatat bahwa dominasi Sultan Sumbawa yang keturunan Bugis-Makasar digantikan oleh sultan dari keturunan raja Banjar. Permulaan keturunan raja Banjar menjadi sultan Sumbawa yaitu, Gusti Mesir Abdurrahman yang bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (1762-1765). Beliau diangkat menjadi sultan kedelapan Sumbawa karena beliau telah memperistrikan cucunda dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723), Datu Bonto Raja.[2]
Kerajaan Sumbawa juga memayungi Selaparang (Pulau Lombok, sekarang), merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sumbawa yang disebut dalam istilah "Kemutar empat". Bukti sejarah, sebagian penduduk di Lombok Timur, Mataram merupakan keturunan dari Sumbawa yang ikut dalam pembebasan Selaparang pada masa itu. Sejarah masa lalu tersebut telah berlalu. Seiring dengan berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Kesultanan Sumbawa masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan pada akhirnya Sumbawa juga menjadi bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat yang beribukota di Mataram.[3]
Setelah Indonesia merdeka, Sumbawa masa kini meninggalkan bekas ketangguhan, kemurahan, solidaritas bahkan toleransi. Keterbukaan adalah jati diri masyarakat Sumbawa yang tidak mengenal istilah nepotisme bahkan dalam kompetisi keseharian, masyarakat terbiasa dengan kompetisi sehat. Karakter tersebut menempatkan integritas kepribadian yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sejarah mencatat, berbagai daerah tertarik mendiami Kesultanan Sumbawa, seperti dari kerajaan Sriwijaya Palembang, kini disebut Pelampang (berasal dari kata Palembang). Banjar berasal dari Kalimantan, Selayar dari Sulawesi, Mantar dari bangsa Portugal, Jawa dari Jawa. Semua warna tersebut bercampur menjadi satu kesatuan bagaikan pelangi yang senantiasa membawa kebahagiaan dan kedamaian di Tana Samawa (Tanah Sumbawa).
Sumbawa yang sangat terbuka dan penuh toleransi merupakan daerah yang nilai-nilainya dibangun atas dasar nilai moral. Semua orang yang hidup di Tana Samawa merupakan orang yang sanggup menjunjung tinggi moral diatas segala kepentingan. Tak pelak ketika pelanggaran moral terjadi, dimana negara tidak lagi hadir maka hukum setempat akan mengeksekusi.
Tindakan demikian merupakan bentuk dari tuntutan keseimbangan; peran, pelayanan, persamaan derajat dan kesempatan dalam memelihara keseimbangan Sumbawa secara menyeluruh. Kesempatan merupakan landasan menuju penyatuan dan partisipasi aktif dalam memelihara Tana Samawa. Perilaku kompetitif, tidak menempatkan masyarakat Sumbawa menduduki peluang dalam perekrutan setiap kebutuhan negara.
B. Sultan Muh. Jallaluddin III
Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu.
Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya kesebuah hutan, kira-kira di wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar.
Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958.[4]
Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang menikah dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun.
Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (1761-1762).
Wilayah Kesultanan/kerajaan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.
C. Pengislaman Kesultanan Sumbawa
Sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa dimulai dari masuknya Kerajaan Gowa ke Sumbawa yang datang melalui penaklukkan sekitar tahun 1618 s/d 1623. Sejarah ini memiliki kisah tersendiri yang menarik untuk di telusuri, karena masuknya Gowa semakin memberikan ruang bagi berkembangnya Islam secara lebih merata ke seluruh pelosok negeri.
Sebelum terjadinya penaklukkan, antara Sumbawa dengan Gowa telah terjalin hubungan yang erat melalui komunikasi yang terjadi antara peduduk di kedua wilayah. Sumbawa dimanfaatkan oleh para pedagang Gowa sebagai salah satu jalur penting perdagangan, begitu pula sebaliknya. Jarak yang dekat antara Sulawesi dengan Sumbawa membuat perahu-perahu phinisi Gowa hampir setiap hari hilir mudik dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Daya tarik terbesar Sumbawa saat itu adalah kayu sepang dan kuda. Sedangkan di kalangan para bangsawan Gowa, Sumbawa telah lama di kenal sebagai daerah yang kaya dengan binatang buruan, sehingga pada waktu-waktu tertentu banyak diantara mereka yang datang untuk berburu kijang atau rusa.
Melalui mereka inilah informasi tentang kondisi Sumbawa diketahui oleh Raja Gowa XIV yang saat itu sedang gencar-gencarnya memperkenalkan Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangganya. Proses pengislaman ini ada yang dilakukan melalui loby-loby politik namun kebanyakan dilakukan melalui peperangan.
Setelah berhasil menaklukkan sebagian besar kerajaan yang ada di Sulawesi, Gowa pun kemudian melirik Pulau Sumbawa dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sehingga pada tahun 1616, berangkat pasukan besar dari Gowa yang di pimpin oleh Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yaitu Lo’mo Mandalle.
Pasukan ini pertama kali mendarat di Bima dan berhasil menaklukkan sekaligus mengislamkan wilayah Bima, Sanggar, Tambora dan Dompu. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1618, di bawah pimpinan Keraeng Moroanging yang menggantikan posisi Lo’mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang, pasukan ini bergerak menuju Taliwang. Daerah inipun berhasil dikuasai termasuk kerajaan-kerajaan sekitarnya yaitu Seran, Jereweh dan Utan Kadali. Selang beberapa bulan kemudian satu demi satu kerajaan-kerajaan lainnya berhasil ditaklukkan termasuk Kerajaan Ngali, dan pada puncaknya adalah penaklukkan Kerajaan Samawa Puin.
Pengislaman yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa meskipun hanya dikhususkan pada kerabat kerajaan, adalah tonggak awal dari semakin meluasnya penyebaran Islam di Sumbawa. Dalam sejarah penyebaran Islam, ketika puncak kekuasaan sudah dikuasai, maka tinggal menunggu waktu untuk daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Kisah lengkap tentang sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa oleh Kerajaan Gowa terdapat dalam Buku Sumbawa Pada Masa Dulu karangan Lalu Manca yang dikutip dari Piagam perjanjian damai antara Kerajaan Sumbawa yang diwakili oleh Raja Dewa Maja Paruwa dengan Kerajaan Gowa, yaitu:
”Haadza Kalaamulqaati’ yang termaktub dalam buk perjanjian Tanah Gowa dengan Tanah Sumbawa pada Perang Sariyu dengan Suruh Kari Takwa. Telah berkata Kari Takwa, ”Adat kamu dan rapang kamu tiada dibinasakan dan tiada kami rusakkan. Adapun aku meneguh juga kepadamu, tetapi jangan kamu lupakan mengucap Asyhaduanlaailaahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadurrasulullah, dan iman kamu jangan tiada meneguh Agama Islam.
Demikian pesan Raja Gowa Tuminang Riagamana dengan Raja Gowa pada Raja Sumbawa dan Tanah Sumbawa tiada kami binasakan adatmu dan rapangmu”. Pada masa itu, ada ketika Menteri Tetelu dan Ranga Kiku’ memegang negeri Sumbawa, dan Nene Kalibelah dan Nene Jurupalasan. Memanca Lima dan Lelurah Pitu dan segala orang-orang besar-besar adalah hadir menghadap Raja Sumbawa. Demikianlah adanya. Hijratunnabi SAW 1032 H (1623 M)”.
Setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan, utusanpun kemudian dikirim oleh Dewa Maja Paruwa ke seluruh daerah yang telah dikuasai untuk melakukan proses pengislaman secara menyeluruh. Kepergian para utusan tersebut ada yang disertai dengan mubalig namun ada pula yang hanya sebatas memberikan pengumuman kepada masyarakat tentang munculnya Agama Islam dan kewajiban bagi masyarakat untuk memeluknya. Kepergian mereka juga disertai dengan undangan terbuka kepada pimpinan masing-masing daerah baik raja, datu maupun kepala suku untuk menghadiri rapat akbar di Istana Kerajaan
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Islampun mulai tersebar luas di kalangan masyarakat dan terutama di kalangan bangsawan kerajaan. Raja-raja Hindu yang kemudian memeluk agama Islam adalah Raja Kerajaan Taliwang (Dewa Langit Ling Kertasari), Raja Kerajaan Utan Kadali (Dewa Langit Ling Baremang dan Dewa Langit Ling Utan), Raja Kerajaan Seran, Raja Kerajaan Tangko Empang, dan seterusnya.
Dalam proses pengislaman yang dilakukan oleh pihak kerajaan, terdapat kisah yang menarik untuk diikuti. Sebagian besar utusan yang dikirim telah mengetahui kalau seandainya Islam bukanlah agama yang asing bagi daerah-daerah yang akan mereka kunjungi. Agama ini telah menarik minat dan simpati masyarakat terutama rakyat kecil yang merasa derajatnya terangkat. Dalam ”buk” desa Tepal dijelaskan bahwa utusan kerajaan yang dikirim ke desa itu bernama Syekh Salahuddin. Ketika pertama kali menginjakkan kakinya ke desa ini, ulama ini merasa heran dan takjub dengan kehidupan masyarakat pada saat itu yang rata-rata telah mengenal Islam, sehingga beliaupun kemudian mengambil keputusan untuk tinggal di tempat itu bahkan sampai akhir hayatnya.
Setelah era Dewa Maja Paruwa, Sumbawa masuk pada era baru yaitu berkuasanya trah Makasar dan Banjar dengan raja pertamanya yaitu Dewa Mas Pamayam41 (1648-1668). Raja ini diangkat oleh Gowa sebagai Gubernur Muda dan berkedudukan di bagian barat Sumbawa, yaitu Kerajaan Utan Kadali.
Pada masa pemerintahan Dewa Mas Gowa ini, Islam masih dalam tahap transisi awal yang merupakan masa yang sangat rentan bagi penyebaran Agama Islam, bahkan pada masa ini Dewa Mas Gowa diturunkan secara paksa oleh para pembesarnya karena masih mempertahankan style Hindu.
Proses pengislaman ini berlangsung selama 27 tahun, hal ini diketahui dengan munculnya pernyataan Sultan Hasanuddin pada tahun 1750, bahwa antara Makasar dan Sumbawa telah dipersatukan dan seluruh masyarakat Sumbawa telah beragama Islam.
Dinasti Dewa Dalam Bawa merupakan dinasti yang didirikan oleh keturunan langsung Sayyid Syamsuddin al-Aydrus yaitu Dewa Mas Bantan atau yang lebih di kenal dengan Sultan Harunnurasyid I (1675 s/d 1702). Dinasti ini merupakan dinasti pertama sekaligus terakhir yang pernah berkuasa pada masa kesultanan Sumbawa.
Sebagai Raja Sumbawa, Dewa Mas Bantan memiliki tugas berat dalam membangun pondasi Islam yang kuat di Sumbawa. Dalam masa pemerintahannya selama 27 tahun, Dewa Mas Bantan membangun Islam pada masa Islam baru mulai belajar merangkak. Sultan ini tidak mewarisi satupun hal yang positif dalam hal pengembangan Islam dari raja sebelumnya yaitu Dewa Mas Gowa. Namun secara perlahan tapi pasti, Dewa Mas Bantan Baru pada masa Dewa Mas Madina (1702-1723), wajah Islam mulai berubah secara drastis. Sultan ini melakukan perubahan secara besar-besaran yang ditandai dengan dibentuknya Majelis Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari para ulama, sekaligus diterapkannya hukum adat dan hukum kitab berdasarkan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah.
D. Nama-nama Raja Sumbawa
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah memerintah di Sumbawa dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M.
1. Sultan Hasanurrasyid I 1674-1702 M
2. Sultan Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 M
3. Datu Bala Sawo 1723-1725 M
4. Datu Gunung Setia 1725-1732 M
5. Sultan Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6. Sultan Siti Aisyah 1759-1760 M
7. Datu Ungkap Sermin 1761-1762 M
8. Sultan Muhammad Jalaludddin II 1762-1765 M
9. Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1776 M
10. Sultan Harunurrasyid II 1776-1790 M
11. Sultan Shafiyatuddin 1791-1795 M
12. Sultan Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13. Nene Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14. Mele Abdullah 1825-1836 M
15. Sultan Amrullah II 1836-1882 M
16. Sultan Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17. Sultan Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
E. Sistem Kepercayaan
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, danmenhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.
Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
F. Peninggalan Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Berdiri kokoh di tengah Kota Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, Istana Dalam loka merupakan saksi sejarah yang memperlihatkan kejayaan Kesultanan Sumbawa pada zamannya. Dibangun pada tahun 1885, pembangunan bangunan yang berarti istana tua ini diprakarsai Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III yang menjadi Sultan ke-16 dari Dinasti Dewa Dalam Bawa.
Berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 904 M2, Istana Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan bahan kayu ini memiliki filosofi “adat berenti ko syara, syara barenti ko kitabullah”, yang berarti semua aturan adat istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus bersemangatkan pada syariat Islam.
Lambang keislaman juga dapat dilihat pada kayu penyangga yang berjumlah 99 yang bila diartikan mempunyai kesamaan dengan sifat ALLAH SWT (Asma'ul Husna).
Bangunan utama bala rea yang dibangun dengan kayu jati merupakan pengganti kediaman raja yang dulu pernah terbakar saat terjadi letusan bubuk mesiu kerajaan. Dibangun dengan sistem baji, bangunan ini memiliki tingkat kelenturan yang tinggi apabila terjadi gempa bumi.
Pemilihan selatan sebagai arah hadap rumah pun memiliki makna tersendiri. Berdasar hukum arah mata angin, selatan dipercaya dapat memberikan suasana sejuk, tenteram, damai, dan nyaman. Tidak hanya itu, selatan pun bermakna menatap pada masa lalu yang bila diartikan pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam menyikapi masa lalu yang bisa dibawa ke masa kini.
Awalnya, Istana Dalam Loka berfungsi sebagai kediaman raja. Fungsi itu berubah sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932. Kini, Dalam Loka berfungsi menjadi cagar budaya yang mengingatkan jika dahulu pernah berdiri Kesultanan Sumbawa yang pernah berjaya pada zamannya.[5]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Masa Kesultanan Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham Animisme. Agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang.
Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
B. SARAN
Dengan ditulisnya makalah ini, selain menambah wawasan pembaca diharapkan pemerintah dapat menerapkan kurikulum yang terbaik, sehingga akan memajukan pendidikan di Indonesia. Semoga penulis lain juga akan mengangkat tema perjalanan kurikulum di Indonesia dengan lebih baik dan lebih lengkap
Profosal Labaong
A.
DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT
PENAMBANG EMAS DI DESA
HIJRAH, KEC.LAPE LOPOK, KAB. SUMBAWA.
B.
Latar Belakang
Pulau
Sumbawa memiliki beberapa titik batu emas yang terbentang dari ujung barat
hingga timur, salah satunya yaitu “Olat Labaong”. Olat Labaong terletak di
wilayah Desa Hijrah, Kecamatan Lape yang berjarak 2 km dari jalan lintas
Kabupaten Sumbawa – Kabupaten Bima (Dila Mengas, 2010).
Batu
emas di Olat Labaong merupakan kekayaan tersendiri bagi masyarakat di Pulau
Sumbawa, namun kekayaan tersebut tidak akan bermanfaat apabila masyarakat hanya berbangga saja tanpa bertindak untuk
menjaga dan melestarikannya. Penemuan batu emas di Olat Labaong telah berhasil memunculkan paradigma
baru di kalangan masyarakat sumbawa. Beberapa tahun sebelumya, masyarakat selalu
ramai membicarakan berbagai kendala dalam bidang pertanian seperti pupuk
langka, pembajakan truk pengangkut pupuk, demonstrasi petani, air irigasi yang
tidak bisa diharapkan dan tindakan lainnya yang merugikan petani. Masyarakat
sumbawa terkadang resah terhadap mata pencahariannya sebagai petani, mereka
menghawatirkan musim paceklik yang berakibat gagal panen. Namun sejak
kemunculan Olat labaong, hal itu mulai jarang terdengar, karena Labaong hadir
bak dewi penyelamat ekonomi bagi sebagian masyarakat sumbawa. Mata pencaharian
mereka beralih menjadi penambang batu emas (Putu Adnyana, 2011).
Aktifitas
penambangan emas rakyat memang menjanjikan, tetapi juga meresahkan. Penambangan
emas dilakuan secara tradisional, akibatnya tidak sedikit tubuh manusia yang
tertimbun tanah ketika menggali batu emas. Jika dibiarkan, maka akan muncul
musibah lainnya seperti kriminalitas, kesenjangan sosial, masalah kesehatan dan
kerusakan lingkungan yang tidak bisa diremehkan.
Mengingat besarnya pengaruh Olat Labaong
terhadap masyarakat sumbawa, penulis tertarik untuk menelusuri dinamika
kehidupan masyarakat penambang emas di desa Hijrah, Kecamatan Lape Lopok,
Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011.
C.
Alasan
Memilih Judul
1. Alasan Obyektif
Penelusuran sejarah desa Hijrah
merupakan topik yang menarik untuk ditulis. Di
desa Hijrah terdapat Olat labaong, yang bukan hanya sebagai tempat
penambang rakyat,
malainkan memberikan deskripsi sebuah dinamika kehidupan sosial bermasyarakat, dan warisan
nenek moyang yang sarat
dengan nilai - nilai luhur yang
perlu dikembangkan,
sehingga dapat menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam membahas dinamika kehidupan
masyarakat desa Hijrah, tentu tidak lepas dari sejarahnya. Sehingga
kenyataannya sejarah dapat bermakna ketika dapat dipahami oleh masing – masing
komunitas/masyarakat sendiri. Sehingga dinamika sejarah dapat dipelajari dan
dilestarikan oleh generasi penerusnya ataupun orang lain yang berminat.
2. Alasan Subyektif
Ketertarikan peneliti terhadap topik penambangan emas di desa
Hijrah dan dinamika kehidupan masyarakatnya, sebenarnya telah ada sejak
ditemukannaya batu emas pertama kali. Daya tariknya terletak pada perubahan paradigma yang terjadi di masyarakat
sumbawa yang mengubah mata pencaharian,
bahkan rela kehilangan nyawa demi sebongkah batu emas. Selain itu, didukung
pula dengan berkembangnya cerita rakyat
tentang olat labaong, yang muncul setelah tempat tersebut telah dieksploitasi
besar – besaran oleh penduduk.
Cerita labaong adalah cerita rakyat
yang terdapat di daerah Labaong Desa Hijrah Kecamatan Lape Lopok Kabupaten
Sumbawa. Cerita tersebut masih terdengar dari masyarakat setempat, khususnya
dari para petuah dan keturunan para
tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut.
Cerita rakyat tersebut terungkap
setelah terjadi pertambangan emas tanpa
ijin (PETI). Pertambangan tanpa izin
diawali oleh keberadaan para penambang tradisional kemudian berkembang karena
adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha. Kegiatan pertambang tanpa
izin yang tidak mengikuti kaidah pertambangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan, pemborosan sumber daya mineral dan kecelakaan tambang. Di samping
itu, pertambangan tanpa izin tidak hanya menyebabkan
potensi penerimaan negara bergurang, tetapi juga negara/pemerintah harus
mengeluarkan dana yang besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal - hal yang
dicermati adalah pertambangan tanpa izin
identik dengan hal - hal negatif. Dengan berbagai alasan tersebut, penulis terdorong untuk
mengetahui secara langsung seberapa jauh dampak pertambangan rakyat tanpa izin
di olat labaong, terhadap penduduk desa hijrah dan masyarakat pulau sumbawa.
Faktor pendorong lainya yaitu penulis sebagai putra daerah
merasa berkewajibaan untuk melestarikan kekayaan budaya yang ada di daerahnya
sendiri karena merupakan warisan nenek moyang.
Terdorong oleh kenyataan itulah, maka melalui kesempatan ini
peneliti menyumbangkan karya tulisnya melalui skripsi yang berjudul “Dinamika
Kehidupan Masyarakat Penambang Emas Di Desa Hijrah, Kec.Lape
Lopok, Kab. Sumbawa” .
D.
Batasan Judul
Agar
judul tersebut tidak menimbulkan multifungsi, maka kata – kata pembentuknya
dibatasi maknanya sebagai berikut:
a. Paradigma adalah cara pandang
seseorang terhadap lingkungannya yang dapat mempengaruhi cara berfikir, bersikap
dan bertingkah laku. Arti lainnya yaitu seperangkat asumsi, konsep, nilai dan
praktik yang diterapkan dalam memandang realita pada sebuah komunitas yang sama
khususnya dalam disiplin intelektual.
b. Mata Pencaharian adalah pekerjaan
atau pencaharian utama (yang dikerjakan untuk biaya hidup sehari – hari )
c. Cerita Rakyat ialah kekayaan budaya
yang mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau asal usul suatu
tempat yang dapat berfungsi sebagai hiburan dan suri tauladan terutama yang
mengandung nilai – nilai moral.
d. Tokoh merupakan orang yang penting
dalam masyarakat.
e. Masyarakat adalah sejumlah manusia
yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
f. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) adalah
usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang
atau perusahaan yayasan yang berbadan hukum, namun dalam
operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah dan tidak sesuai dengan undang - undangan yang
berlaku.
g. Lingkungan Hidup merupakan pengertian
lingkungan secara umum yang terdiri atas empat unsur yaitu: materi, energi,
ruang dan waktu.
h. Lingkungan Sosial merupakan
lingkungan buatan manusia yang terbagi atas lingkungan ekonomi, politik,
kebudayaan, agama, pendidikan dan seterusnya.
E.
Perumusan Masalah
Dengan munculnya keberadaan batu emas di desa Hijrah, serta penambangan rakyat
batu emas yang tidak terkontrol. Penulis termotivasi untuk menelusuri dinamika
kehidupan masyarakat desa Hijrah yang dianggap sebagai kekayaan daerah Sumbawa
dan perlu dilestarikan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan
masalahnya yaitu:
a.
Bagaimanakah
sejarah terbentuknya masyarakat desa Hijrah ?.
b.
Bagaimanakah
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa Hijrah?.
c.
nilai
sosial budaya apa saja yang terkandung dalam peristiwa penambangan emas di desa
Hijrah?.
F.Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penulis membuat proposal ini
adalah:
1.
Menjelaskan
sejarah terbentuknya masyarakat desa Hijrah.
2.
Menjelaskan
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa Hijrah.
3.
Menjelaskan
nilai sosial budaya yang terkandung dalam peristiwa penambangan emas di desa
Hijrah.
G.
Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui sejarah terbentuknya
masyarakat desa Hijrah, kecamatan
Lape Lopok, kabupaten
Sumbawa.
2. Mengetahui pengaruh penambangan emas
terhadap nilai sosial budaya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat desa Hijrah.
3. Dapat mengembangkan ilmu sastra
khususnya dalam bidang cerita rakyat yang merupakan aset budaya daerah Sumbawa
4. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi motivasi hidup yang cukup berarti dalam pelestarian
lingkungan masyarakat sumbawa.
1. KAJIAN TEORI
1.
Sekilas Tentang Olat Labaong Di Desa
Hijrah
Membahas tentang
sejarah desa Hijrah dan
cerita rakyat “Olat Labaong”, tidak lepas dari sastra daerah yang merupakan
modal untuk memperkaya sastra Indonesia. Sastra memiliki nilai budaya yang
tercermin dalam perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan. Sastra
terbagi atas dua bagian yaitu: sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan
disampaikan dari mulut ke mulut, berisi warisan cerita nenek moyang yang berisi
nilai - nilai luhur dan perlu dikembangkan misalnya: mitos, legenda, dongeng,
foklor, dll. Sastra tulisan disampaikan melalui tulisan, telah dibukukan dan
dibaca oleh publik. Sastra tulisan berasal dari sastra lisan. Telah banyak
sastra lisan yang dibukukan, tetapi masih banyak juga yang belum dibukukan.
Usaha untuk mengungkapkan dan memaparkan karya sastra yaitu dengan penelusuran
terhadap unsur kebudayaan (Raihani, 2010)
Cerita
rakyat “Olat Labaong dan sejarah terbentuknya masyarakat desa Hijrah” termasuk
sastra lisan (folklor) yang belum dibukukan, namum masih terpelihara di
kalangan masyarakat desa Hijrah. Folklor.merupakan
sebagian dari kebudayaan, bersifat kolektif yang tersebar dan diwariskan secara
turun temurun, berupa cerita tradisional dalam versi yang berbeda – beda, baik
dalam bentuk lisan maupun disertai contoh isyarat atau alat bantu (James
Danandjaja, 1984 :2 )
Cerita
Rakyat Olat labaong sangat populer di wilayah Kecamatan Lape Lopok Kabupaten
Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat. Hal ini karena lokasi tersebut merupakan
sumber batu emas. Istilah Labaong, diambil dari istilah “Lala Baong” yang
merupakan nama seorang putri. Menurut cerita, putri tersebut telah mengasingkan
dirinya di sebuah “Olat” (pegunungan) hingga akhirnya meninggal dunia. Makam
putri tersebutlah yang diduga merupakan sumber batu emas. Kisah ini hanya
sekilas saja, karena penelusuran tentang cerita rakyat “Olat labaong” belum
pernah dilakukan sebelummya. Namun tragedi yang terjadi di Olat tersebut cukup
menyirat perhatian pemerintah daerah Sumbawa karena telah memakan banyak korban
jiwa.
2. Dampak Perubahan Lingkungan Hidup Terhadap Lingkungan Sosial Masyarakat
Pertambangan tanpa izin di desa Hijrah telah mengubah lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat pulau
Sumbawa. Lingkungan sosial terbagi atas lingkungan ekonomi, politik,
kebudayaan, agama, pendidikan dan seterusnya. Lingkungan dalam arti luas
dikenal sebagai lingkungan hidup (alam) (Nurdien, 1982).
Dalam hubungannya dengan kelestarian umat, lingkungan hidup
terdiri atas empat unsur yaitu: materi, energi, ruang dan waktu. Unsur materi
dan energi berhubungan dengan sumber kebutuhan jasmani manusia dan dua unsur
terakhir berhubungan dengan prilaku manusia. Sehingga semakin padat penduduk
makin berartilah ruang dan waktu. Hal ini mempengaruhi sukses atau gagalnya
perjuangan hidup manusia (Nurdien, 1982).
Goldschmitht dalam pendekatan ekologisnya menulis
“perkembangan struktur sosial dan karya cultural manusia merupakan akibat
lanjut dari adaptasi manusia kepada yang baru yang dilatarbelakangi oleh
perubahan lingkungan dan perkembangan teknologi. Perubahan lingkungan telah
merubah semboyan masyarakat dalam melihat ke masa depan. Mereka yang dahulunya
berkata “lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar”, menjadi “tidak cepat,
tidak dapat karena waktu adalah uang”. Sehingga adaptasi manusia terhadap
lingkungannya dapat beraspek fisik ataupun moral seperti budaya, gagasan dan
prinsip (Nurdien, 1982).
3.
Dampak Kemajuan Ekonomi Terhadap
Kehidupan Sosial
Kemunculan
batu emas di desa Hijrah bak dewi penyelamat ekonomi bagi sebagian masyarakat
Pulau Sumbawa. Mata pencaharian mereka beralih dari petani menjadi penambang
batu emas (Putu Adnyana, 2011).
Istilah
ekonomi, erat kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu situasi,
kedudukan dari eksistensi manusia yang mencakup kondisi dan sarana, bersifat
statis dan pasif. Perlawanan terhdap kemiskinan merujuk kepada tindakan
manusia, perjuangan manusia yang lebih dinamis mengarah pada upaya mereka untuk
memperbaiki kondisi hidup mereka yang merupakan inti kebudayaan. Kemiskinan
bukanlah sekedar ketidakpunyaan melainkan ketidakmampuan yang berkaitan dengan
kekayaan, ketidakmerataan dan ketidakadilan. Kemiskinan dapat menciptakan
perubahan pola – pola prilaku dan perubahan norma lama menjadi norma baru,
sehingga menimbulkan dampak ke segala bidang atau dikenal dengan perubahan
sosial. Beberapa dampak perubahan sosial yaitu (Nurdien 1982):
a. Terganggunya keseimbangan antara
kesatuan – kesatuan sosial dan masyarakat.
b. Renggangnya hubungan kekeluargaan
dalam masyarakat.
Hubungan
kekeluargaan mengajarkan kasih sayang, kebebasan, kepatuhan dan kesediaan
berkorban. Ciri – ciri ikatan kekeluargaan tersebut biasanya berdasarkan
tradisi dan adat istiadat yang kuat, biasanya dijumpai dalam kehidupan
masyarakat praindustri, sedangkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih
kompleks, nilai – nilai yang terkandung dalam ikatan kekeluargaan tersebut
semakin berkurang (Nurdin, 1982).
Kemiskinan
muncul sebagai akibat dari keterbatasan lapangan pekerjaan atau kurangnya
kesempatan berusaha yang sesuai dengan tingkat keahlian/keterampilan masyarakat
bawah. Kemiskinan muncul dalam berbagai jenis yaitu miskin secara ekonomi,
pengetahuan dan keterampilan.
I.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan proposal
ini, penulis menggunakan metode yang sesuai dengan pembahasan permasalahan,
adalah:
1. Observasi Pendahuluan
Sebelum dilakukan
penelitian lapangan, akan dilakukan observasi pendahuluan berkaitan dengan
obyek. Observasi dalam pengertian sempit adalah mengamati dan mendengarkan
prilaku orang lain seiring waktu tanpa manipulasi atau mengontrolnya, dan
mencatat temuannya dengan berbagai cara yang memungkinkan untuk dilakukan
(Mudjijono,2003:86).
Metode dasar yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian yang
berusaha untuk memberikan pemecahan masalah yang ada pada cerita berdasarkan
data-data. Metode ini menyajikan dan menganalisis data yang diperoleh dari
informasi. Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan sejarah desa Hijrah dan
dinamika kehidupan masyarakat desa Hijrah baik sosial maupun ekonoml.
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober tahun 2012.
2.
Lokasi Penelitian.
Penelusuran terhadap
dinamika kehidupan masyarakat Hijrah dilakukan pada masyarakat Sumbawa,
khususnya penduduk desa Hijrah. Jadi salah satu lokasi penelitian yaitu Desa
Hijrah yang terdapat di Kecamatan Lape Lopok, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
3. Sumber Data
Adapun sumber data dalam
penelitian historis ini dapat berupa manusia dengan segala aktivitasnya,
peristiwa lampau, dokumen dan benda – benda sebagai instrumen penelitian. Oleh
karena itu, sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi:
a. Informan: untuk memperoleh data informasi lengkap, menyeluruh dan mendalam.
Maka diadakan wawancara mendalam pada sejumlah informan yang dianggap
mengetahui dan memahami hal yang berkaiatan dengan permasalahan penelitian ini,
seperti salah satu keluarga korban yang tertimbun oleh tanah akibat
pertambangan emas tanpa izin (liar). Sehinnga diperoleh cerita yang sebenarnya.
b. Arsip atau dokumen: yang berupa arsip – arsip di kabupaten Sumbawa,
catatan pribadi, foto – foto, dll.
c. Tempat dan peristiwa: meliputi tempat dan juga proses penambangan
tanpa izin oleh rakyat.
4. Metode Pengumpulan data
Adapun metode pengumpulan
data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, adalah:
a. Metode observasi adalah
metode yang mengharuskan penulis untuk turun kelapangan melakukan pengamatan
terhadap objek penelitian.
b. Metode wawancara adalah
suatu metode dimana penulis melakukan sebuah wawancara terhadap informan yang
dianggap dapat memberikan informasi atau data - data yang mendukung keabsahan
cerita yang akan diteliti dengan menggunakan dua macam teknik yaitu.
- teknik Rekam: yaitu
dengan menggunkan tape recorder.
- teknik catat: yaitu
mencata semua keterangan yang berisi cerita dari para informan dengan
menggunakan buku tulis dan pulpen.
c. Metode kepustakaan yaitu:
metode yang mengharuskan penulis mencari bahan - bahan referensi buku yang
berkaitan dengan pokok penelitian data sekunder penulis.
5.
Metode Analisis Data
Metode yang digunakan
dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode deskriptif yang didasarkan
pada unsur - unsur intrinsik. Dengan langkah - langkah yang dilakukan penulis
dalam menganalisis cerita adalah:
a.Menuliskan data yang
diperoleh dari lapangan yaitu berupa sinopsis cerita tersebut.
b.
Mendeskripsikan isi cerita yang merupakan unsur intrinsik sebagai
tumpuan analisis dalam mengkaji nilai - nilai sosiologis dalam cerita.
6.
Histografi
Selanjutnya setelah langkah demi langkah seperti penentuan subyek
penelitian, pencaharian sumber, kritik sumber, dan interpretasi sumber, maka
langkah terakhir yang dilakukan ialah menuliskan fakta sejarah menjadi sebuah
kisah selaras dan menarik.
Menurut Gerdiner, fakta sejarah merupakan keterangan baik itu
lisan, tertulis, atau berupa benda – benda peninggalan sejarah setelah disaring
dan diuji dengan kritik sejarah dan lokasi penelitian.
J.
Kerangka Isi
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB1 PENDAHULUAN
A. Judul
B. Latar belakang masalah
C. Alasan pemilihan judul
D. Batasan judul
E. Perumusan masalah
F. Tujuan penelitian
G. Manfaat penelitian
H. Kajian teori dan penelitian terdahulu
I. Metode penelitian
J. Historiografi
BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
A. Geografi desa hijrah kecamatan lape
lopok kabupaten sumbawa
desa Hijrah Kec. Lape dan
Desa Langam Kec. Lopok Kabupaten Sumbawa. Lokasi tersebut berjarak 42 km dari
Kota Sumbawa besar kearah timur melalui jalan negara Sumbawa Besar - Bima,
selanjutnya melalui jalan tanah kearah utara berjarak 1 – 1,5 km dengan akses
jalan menuju lokasi melalui 3 (tiga) jalur yakni jalan di desa Langam, jalan di
desa hijrah dan jalan di desa Labuhan Kuris. Aktivitas Penambangan dibagi 2
(dua) jenis yakni penambangan dengan metode tambang bawah tanah
(gophering/coyoting) membuat lubang dan penambangan bongkah dengan tambang
terbuka yang lokasinya berpindah-pindah. Akibat dari penggalian ini semua telah
terjadi perubahan permukaan tanah (bukit) menjadi berlubang-lubang dan terjadi
tumpukan tanah dimana-mana akibat dari penggalian yang tidak teratur dan tidak
sesuai dengan teknik penambangan yang benar.
Selain aktifitas penggalian juga sudah ditemukan pengolahan bijih emas pada daerah sekitar penambangan sampai dipinggir jalan Negara terdapat unit-unit gelondongan. Jumlah gelondongan sampai saat ini belum terdata secara tepat karena tersebar di beberapa desa dan kecamatan, perkiraan 400 hingga 500 unit gelondongan. Penempatan unit gelondongan di pingggir sungai, saluaran irigasi, halaman rumah dan pinggir jalan. Kegiatan penggelondongan yang dilakukan di sekitar Kecamatan Lopok dilakukan pada tempat-tempat yang dekat dengan sungai mapun kolam-kolam, tujuannya karena untuk memudahkan pengambilan dan pembuangan air hasil penggelondongan yang sebagian besar tanapa melalui pengolahan. Penggelondongan diawali dengan cara memperkecil ukuran batu hasil penggalian sebelum dimasukkan ke dalam tangki gelondongan, selanjutnya setelah ukurannya cukup halus baru dimasukkan ke dalam tangki gelondongan yang diameternya bervariasi dan di dalamnya terdapat besi selinder yang fungsinya menghaluskan batuan pada saat gelondong diputar. Setelah beberapa jam diputar dan batuannya sudah dianggap cukup halus, kemudian dimasukkan air raksa ke dalam tangki gelondongan dan kemudian diputar kembali sampai diperkirakan cukup merata dan air raksanya dapat mengikat emas membentuk amalgam. Selanjutnya batuan hasil penggelondongan yang telah dicampur air raksa disaring, sisa penyaringan berupa air dibuang langsung ke sungai atau kolam-kolam tanpa melalui pengolahan sedangkan sisa saringan berupa pasir halus (puyak) disimpan dalam karung untuk diproses ulang atau dijual ke pembali lain. Endapan emas yang telah diikat oleh air raksa selanjutnya disimpan untuk diproses menjadi emas murni.
Kegiatan peleburan emas yang terjadi di Kecamatan Lopok langsung dilakukan di beberapa tempat (Toko/Kios) yang dilengkapi dengan alat pelebur amalgam (emas yg diikat oleh air raksa), timbangan, dan uang kontan untuk membayar emas yang dilebur di tempat tersebut dan langsung dijual oleh penambang bersangkutan ke toko/kios yang bersangkutan. Dari hasil pantauan dan wawancara dengan penambang maupun pembelinya (pemilik Toko/Kios), diperoleh angka penjualan minimal dalam satu hari sekitar 1 milyar rupiah.
Selain aktifitas penggalian juga sudah ditemukan pengolahan bijih emas pada daerah sekitar penambangan sampai dipinggir jalan Negara terdapat unit-unit gelondongan. Jumlah gelondongan sampai saat ini belum terdata secara tepat karena tersebar di beberapa desa dan kecamatan, perkiraan 400 hingga 500 unit gelondongan. Penempatan unit gelondongan di pingggir sungai, saluaran irigasi, halaman rumah dan pinggir jalan. Kegiatan penggelondongan yang dilakukan di sekitar Kecamatan Lopok dilakukan pada tempat-tempat yang dekat dengan sungai mapun kolam-kolam, tujuannya karena untuk memudahkan pengambilan dan pembuangan air hasil penggelondongan yang sebagian besar tanapa melalui pengolahan. Penggelondongan diawali dengan cara memperkecil ukuran batu hasil penggalian sebelum dimasukkan ke dalam tangki gelondongan, selanjutnya setelah ukurannya cukup halus baru dimasukkan ke dalam tangki gelondongan yang diameternya bervariasi dan di dalamnya terdapat besi selinder yang fungsinya menghaluskan batuan pada saat gelondong diputar. Setelah beberapa jam diputar dan batuannya sudah dianggap cukup halus, kemudian dimasukkan air raksa ke dalam tangki gelondongan dan kemudian diputar kembali sampai diperkirakan cukup merata dan air raksanya dapat mengikat emas membentuk amalgam. Selanjutnya batuan hasil penggelondongan yang telah dicampur air raksa disaring, sisa penyaringan berupa air dibuang langsung ke sungai atau kolam-kolam tanpa melalui pengolahan sedangkan sisa saringan berupa pasir halus (puyak) disimpan dalam karung untuk diproses ulang atau dijual ke pembali lain. Endapan emas yang telah diikat oleh air raksa selanjutnya disimpan untuk diproses menjadi emas murni.
Kegiatan peleburan emas yang terjadi di Kecamatan Lopok langsung dilakukan di beberapa tempat (Toko/Kios) yang dilengkapi dengan alat pelebur amalgam (emas yg diikat oleh air raksa), timbangan, dan uang kontan untuk membayar emas yang dilebur di tempat tersebut dan langsung dijual oleh penambang bersangkutan ke toko/kios yang bersangkutan. Dari hasil pantauan dan wawancara dengan penambang maupun pembelinya (pemilik Toko/Kios), diperoleh angka penjualan minimal dalam satu hari sekitar 1 milyar rupiah.
Kecamatan Lape adalah salah
satu Kecamatan di Wilayah Kabupaten
Sumbawa yang terletak di
belahan timur Kabupaten Sumbawa dengan luas
wilayah 204,23 Km2
dengan jumlah penduduk hingga keadaan akhir
Desember 2008 berjumlah
15.815 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak 15.815 jiwa dan luas wilayah
204,23 km2
maka tingkat kepadatan penduduk di
Kecamatan Lape mencapai 77
jiwa perkilometer persegi.
Secara administratif hingga
Desember 2008 wilayah Kecamatan Lape
terbagi dalam 4 desa yakni
Desa Lape, Dete, Hijrah dan Labuan Kuris. Dari
empat desa yang ada secara
geografis hanya satu desa pantai yaitu desa
Labuan Kuris dengan luas
wilayah mencapai 67,71 % dari luas kecamatan
dan termasuk dalam desa
swakarya. Di kecamatan ini ada tiga desa yang
sudah berklasifikasi desa
swasembada, sedangkan yang lain masih desa
swakarya.
Untuk menunjang kelancaran
kegiatan administrasi serta menjaga
keamanan dan ketertiban di
wilayah Kecamatan Lape, diperlukan dukungan
aparatur pemerintahan yang
memadai. Pada tahun 2008 aparat desa di
Kecamatan Lape sebanyak 28
orang dan kepala dusun sebanyak 17 orang.
Selain itu adanya dukungan
anggota Linmas sebanyak 31 orang di tiap-tiap
desa sangat penting untuk
menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah
Kecamatan Lape.
BAB III LATAR BELAKANG SEJARAH DESA HIJRAH
A. Sejarah terbentuknya masyarakat desa
Hijrah
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA
NOMOR
10 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBENTUKAN DESA HIJRAH DI KECAMATAN
LAPE
I. UMUM
Desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum, memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah
Kabupaten, sehingga penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan dapat
mempercepat timbulnya prakarsa dan kreatifitas masyarakat serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memanfaatkan sumber
daya dan fasilitas yang tersedia.
Dengan telah ditingkatkannya
status desa persiapan menjadi desa difinitif maka diharapkan dapat segera
terwujudnya Desa yang mandiri sesuai dengan semangat Otonomi Daerah berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga
pelayanan kepada masyarakat yang prima dapat segera terwujud.
A. Peristiwa penambangan batu emas di Olat Labaong
Labaong adalah nama sebuah bukit/gunung yang terletak
diantara kecamatan lape dan lopok bagian utara Kabupaten Sumbawa Nusa Tengara
Barat. Gunung labaong juga dikelilingi oleh ladang, sawah, pusat peternakan
rakyat ( lar badi ) dan pemukiman warga hijrah.
Dalam beberapa bulan terakhir Labaong
menjadi pusat penambangan emas oleh barbagai kalangan. Lokasi tersebut
dijadikan pusat tambang liar berawal dari sebuah pengakuan irasional dan mistis
salah seorang warga didesa Hijrah, yang kemudian mengawali penambangan dengan
sembunyi2 dan hanya sendiri. Menurut pengakuan orang yang dimaksud, dia telah
memperoleh keuntungan sekitar 1 M, kemudian berita labaong mangandung emas
tersebar sampai keseluruh sumbawa bahkan NTB dan Jawa. Seiring dengan
tersebarnya potensi labaong , berbondong2 manusia dari berbagai kalangan mulai
dari sang buruh, petani, PNS, Politisi, Polisi , TNI dan berbagai macam warna
manusia mendatangi labaong untuk menjadi penambang.
Tehnis Penambangan dan penggalian lubang dilabaong dilakukan dengan sembrawut
dan tanpa bekal pengaman apapun untuk penambang, alat yang digunakan oleh
penambang cuma berupa masker, lampu senter, palu, betel dan karung. Sementara
kedalaman lubang yang digali menacapai 7-20 m, didinding lubang penambang
membuat lorong tikus yang mengikuti jalur urat batu yang dianggap mengandung
emas. Sedangkan diameter mulut lubang sekitar 1 m dan didasar lubang penambang
tanpa sadar membuat ruangan yang makin besar karena dinding lubang dikikis karena
dianggap mengandung emas.
Jumlah lubang yang dibuat disekitar gunung labaong mencapai ratusan lubang
dengan pola penggalian yang sama, sehingga gunung labaong memiliki ratusan
lorong tikus didalam perut gunung. Dalam setiap lubang, penambang yang masuk
sekitar 6 – 30 orang di setiap lubang. Pada minggu2 awal labaong tidak
mengambil tumbal namun seiring dengan keserakahan para penambang hingga batu2
penyangga dalam lubang yang dianggap mengandung emas juga ikut diembat oleh
para penambang hingga menyebabkan batu yang menjadi atap didalam lorong tikus
menjadi keropos, ditambah lagi dengan kondisi lorong yang sama dan bertingkat2
disekitar perut gunung dan jumlah beban berat manusia yang mencapai 7000-an
dipermukaan gunung ( belum termasuk berat dosa manusia ) sehingga menyebabkan
gunung tersebut setiap hari mengalami longsor, yang setiap longsor selalu
menelan korban jiwa.
Emas yang diperoleh dilabaong oleh para penambang juga cukup menggiurkan. Dari
perkarung batu yang mengandung emas, para penambang mendapat emas dari 3 – 80
gram dan ada juga penambang yang tidak mendapatkan apa2.
B. Perubahan nilai sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat desa Hijrah.
Potensi diLabaong mengakibatkan munculnya
eksistensi para masyarakat secara bebas tanpa nilai, seperti :
a. Munculnya eksistensi para preman dan
jawara2 kampung untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mereka sendiri dan
bebas nilai. Hal itu dinplementasikan dengan cara membentuk sebuah organisasi
liar disekitar labaong yang mengklaim diri sebagai panitia tambang. Para
panitia tambang ini memiliki peran seperti :
1. Menjual
tiket masuk di gerbang lokasi dengan harga tiket Rp. 5000 – Rp.10.000/ motor,
2. Menarik
biaya parkir kendaraan disekitar lereng labaong,
3. Melakukan
jual beli lubang kepada masyarakat dan para pengusaha yang ingin memonopoli 1
lubang dengan harga Rp.300.000-Rp.2 juta/lubang.
4. Menguasai 1 lubang
dengan menggunakan jasa para pendatang dari tasik dan sekotong sebagai penggali
lubang.
b.
Munculnya
reaksi para masyarakat dari berbagai kalangan khususnya para petani untuk
beralih profesi menjadi penambang dan memilih meninggalkan ternak dan sawahnya
sehingga padi dan palawija yang siap panen ditinggalkan, karena menurut mereka
“dengan menambang kita bisa dapat sampai 3 juta / perhari, sedangkan dengan
mengurus sawah dan ternak belum tentu mendapat keuntungan sebesar itu sepanjang
tahun. Kecamatan Lape dan Lopok yang tahun2 sebelumhya menjadi salah satu
lumbung beras Sumbawa, sekarang harus melepaskan prestasi tersebut karena
beberapa alasan yang muncul kemudian karena labaong yakni,
- Ribuan Hektar Sawah dikecamatan tersebut,
ditinggalkan oleh pemilik dan penggarapnya sehingga tanaman padi dll rusak
begitu saja dan dimakan burung. Bahkan sebagian petani dikecamatan lainpun
ikut2an.
- Para pengusaha2 lokal yang menampung dan
membeli hasil pertanian di Kecamatan Lape dan Lopok harus menutup usahanya
karena tidak lagi memiliki pekerja dan tak ada lagi petani yang menjual gabah
dan hasil bumi lainnya.
d. Aktivitas tambang yang super liar
menyebabkan menjamurnya para pengusaha yang memisahkan emas dari batu yang
lazim disebut “mesin gelondong” untuk beroperasi di Tana Samawa dengan liar
pula. Limbah gelondong yang tercampur dengan air raksa ditampung.
BAB IV DAMPAK PENAMBANG RAKYAT TERHADAP LINGKUNGAN SOSIAL MASYARAKAT
A. Dampak kemajuan ekonomi terhadap
kehidupan sosial
Berbicara
mengenai industri pertambangan baik skalar besar maupun sekalar kecil tentunya
akan membawa dampak negatif cukup kompleks yang dirasakan oleh masyarakat,
berbagai realita kita saksikan dan rasakan secara bersama – sama melalui dari
pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya sumber – sumber ekonomi masyarakat,
adanya alih profesi masyarakat, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, sempitnya
lahan masyarakat, hilangnya budaya lokal masyarakat ( besiru ). Potensial
dampak dampak dari kegiatan pertambangan tanpa ijin lebih spesifiknya masing –
masing sektor tersebut adalah sebagai berikut :
2.1.1. Lingkungan :
a. Aktifitas
pertambangan yang dilakukan terus menerus akan berpotensial mengurangi mata
air. Saat ini masyarakat sekitar tambang, desa hijrah 1 dan II wilayah olat
labaong mulai mengeluhkan tentang debit air sumur yang berkurang. Untuk
keperluan mencuci harus ke dusun beru desa hijrah.
b. Keberadaan
Mesin – mesin gelondong dan tong di sembarang tempat mengundang ketidak
nyamanan warga. Beberapa mesin di jumpai berada di saluran irigasi, di sekitar
bantaran sungai, di areal persawahan bahkan dekat dengan perkampungan warga.
Dalam proses pengolahan hasil tambang menggunakan berbagai jenis bahan kimia berbahaya. Bahan
kimia tersebut berpotensi akan mencemarkan sumber air yang juga akan berakibat
terhadap kesuburan lahan pertanian dan peternakan. Dengan demikian, akan
berakibat berkurangnya hasil produksi pertanian dan perternakan.
c. Penggunaan
bahan kimia berbahaya juga mengancam timbulnya berbagai jenis penyakit.
Penyakit tersebut bisa di timbulkan dari
sumber air, udara, tanah maupun melalui makanan. Jika perairan sudah
tercemar, maka prosesnya melalui rantai makanan misalnya dengan memakan ikan
yang telah terkontaminasi. Sifat bahan kimia yang berbahaya ini adalah
akumulatif, jadi akan berpotensi akan timbulnya penyakit kulit, gangguan
saluran pernafasan akut, nyeri sendi, sakit kepala serta yang lebih berbahay
adalah penyakit pada perempuan yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan
lain – lain.
2.1.2. Ekonomi
Sebelum
labaong di sesaki penambang, masyarakat sekitar menfaatkan lahanya untuk
menghampar padi gogo dan melepaskan ternaknya. Bukit seluas 27 hektar ini bila
di hitung sekali panen menghasilkan padi gogo seberat 3 ton perhektarnya, kalau
27 hektar maka menghasilkan 81 ton gabah
yang tidak bisa di nikmati oleh masyarakt desa hijrah. Dampak lainya yang
timbul adalah meningkatnya harga sembako di sekitar lokasi pertambangan.
Ancaman pencemaran lingkungan akan
mengakibatkan berkurangnnya produktifitas petani, peternak dan nelayan.
Sehingga akan menimbulkan disharmonisasi dalam kehidupan rumah tangga yang
berpotensi meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga.
2.1.3. Sosial / budaya
Telah terjadi kemerosotan nilai – nilai
tradisional dan bentuk ikatan sosial dalam masyarakat sejak adanya aktifitas
pertambangan ini. Hal ini terungkap ketika melakukan wawancara dengan beberapa
masyarakat di sekitar lokasi tambang yang mengatakan bahwa beberapa kegiatan
sosial tidak berjalan seperti biasanya, masyarakat tiddak lagi saling membantu
karena yang di pikirkannya adalah menggali bebatuan yang mengandung emas. Norma – norma saling
membutuhkan dan ketergantungan di pedesaan mulai menghilang karena masyarakat
yang tadinya tidak mau menambang karna malihat hasil yang di dapatkan oleh
penambang yang datangnya dari luar desa akhirnya mulai ikut melakukan
pengerusakan lingkungannya sendiri sehingga “boat desa” ( kegiatan desa )
ditinggalkan, contohya apabila di desa ada hajatan perkawinan masyarakat
berbondong – bondong mencari kayu bakar
guna keperluan memasak, sehingga kini yang punya hajatan harus mengeluarkan uang
untuk membeli kayu bakar dan keperluan lainnya.
Budaya “Basiru” yang di praktikkan dalam berbagai kegiatan
pertanian maupun kegiatan sosial masyarakat lainnya mulai terancam
keberadaannya karenapa masyarakat sudah mulai menilai waktu mereka dengan uang. Untuk menanam
padi para petani harus mengeluarkan dana yang cukup tinggi dari biasanya.
Karena masyarakat di sekita bukit labaong lebih memilih menggali / memburu mas.
BAB V KESIMPULAN
A. Sejarah Desa Hijrah merupakan karya
sastra lisan yang perlu di telusuri untuk menjaga kelestarian budaya daerah
sumbawa
B. PETI (pertambangan tanpa izin)
identik dengan kekerasan/premanisme, prostitusi dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama.
C. Perubahan lingkungan telah merubah
semboyan masyarakat dalam melihat ke masa depan
D. Metode dasar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana,
Putu . 2011. ”Pertambangan Rakyat Labaong Sumbawa Besar” http://putunyana.blogspot.com. Diakses pada hari Sabtu, 24 Maret 2012.
Anonim.
2010. Pertambangan Tanpa Izin. http://www.scribd.com.
Diakses pada hari Kamis, 29 Maret 2012
Mengas,
Dila. 2010. Tambang Emas Rakyat Di
Pulau Sumbawa.
http://tambangemasrakyatsumbawa.wordpress.com. Diakses pada hari Sabtu, 24
Maret 2012.
Nurdien
HK. 1982cBandung: Percetakan Offset Alumni
Raihani.
2010. “Analisis Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Mual Simata Niari”. http://www.repository.usu.ac.id.
Diakses pada hari Kamis, 29 Maret 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)